Rabu, 28 Desember 2011

Ketika Aku Ingin Menjadi Guru

http://biotagua.org setiap anak ditanya satu persatu apa cita-cita ketika besar nanti. Waktu itu yang jelas terbersit adalah Guru, karena waktu itu tidak pernah terbersit bahkan tidak pernah tahu kalau ada yang namanya profesi Peneliti apalagi Taksonom. Profesi Guru merupakan satu profesi yang paling pertama dikenal oleh kita, karena ketika pertama kali sekolah kita langsung dihadapkan dengan seorang Guru. Namun berbeda dengan aku, sebelum sekolah aku sudah mengenal apa dan siapa itu guru. Bapakku seorang guru SMP yang mengajar mata pelajaran IPS salah satunya Geografi. Setiap senin pagi, pagi-pagi benar bapak sudah berangkat menuju terminal bus Purworejo, yang waktu itu masih bertempat di Purworejo Plaza, meksipun plasanya sampai sekarang tidak jelas bentuknya. Setiap senin pagi itulah, bapaku selalu menunggu bus entah Santoso atau Kencana Jaya yang akan membawa beliau ke Magelang. Karena bapakku mengajar di desa kecil yang disebut dengan Candimulyo yang harus ditempuh dengan lebih dari dua kali naik angkuan. Dari bis, berganti dengan angkutan desa turun di Jembatan Elo dan disambung dengan angkutan desa bentuk engkel menuju desa. Sebuah perjuangan yang tidak pernah terpikirkan oleh ku waktu itu, perjuangan yang penuh dedikasi tanpa lelah setiap senin dan jumat harus berakrab ria dengan “Santoso”, “Kencana Jaya” atau akhir-akhir menjelang karir beliau *Dwi Marta*. Karir dimana beliau harus berhenti mengajar karena terserang sakit ketika waktu aku kuliah. Sampai sekarang aku tidak pernah mengerti apa sakitnya bapak waktu itu. Waktu beliau menghembuskan nafas terakhirnya pun aku tidak sempat menunggu karena waktu itu aku sedang ujian semester yang harus aku tinggalkan di tengah jalan. Itulah bapakku yang aku sendiri tidak cukup mengenal beliau karena baliau harus mengajar di lain kota dan berkumpul di akhir pekan. Lain dengan bapak, ibuku seorang Guru SD, yang setiap hari aku hanya bisa mengharap ibu membawa sesuatu dari pasar entah bengkoang, gethuk, pisang klemas atau rupa-rupa jajanan pasar lain. Ibuku mengajar kelas 1 di SD Brengkelan III meskipun menjelah pensiun sempat berpindah-pindah karena sekolahnya tutup. Itulah potret seorang guru dimataku waktu itu, sebuah profesi yang sederhana namun begitu penting dalam memberikan pondasi bagi generasi muda untuk menapak masa depan. Tanpa cita-cita Ketika SMP sampai SMA mungkin boleh dikata aku tidak mempunyai cita-cita, sekolah mengalir begitu saja tanpa aku harus sibuk menyusun rencana masa depan. Aku begitu realistis waktu itu, bapak yang guru SMP dan Ibu yang Guru SD sudah terlalu berat untuk membiayai kuliah seandainya aku harus memikirkan masuk kuliah. ketika SMA, tidak banyak prestasi di kelas yang aku buat, hanya murid biasa dengan kecerdasan standard sehingga membawaku masuk di kelas Biologi. Bersama teman-teman di kelas biologi naik turunnya prestasi di kelas adalah hal yang lumrah bagiku. Ketika kelas dua, aku benar-benar merasakan hidup seperti di jalanan, rumah hanya tempat singgah dan meletakkan tas. Dengan modal sepeda “nongkrong” adalah kebiasaan yang akrab waktu itu. Setiap hari, jam 10 malam adalah jam tercepat untuk pulang ke rumah. Begitu banyak teman dan aktivitas yang menyita waktu hingga membuat prestasi di kelas turun drastis. Bapakku cuma bisa geleng-geleng melihat hasil raport yang terjun bebas. namun itulah jalah yang harus ditempuh. Tanpa seperti itu, mungkin hidupku tidak akan menjadi kaya. Menjelang akhir SMA, aku tidak pernah membayangkan bahkan mempersiapkan untuk melanjutkan kuliah. Teman-teman sudah sibuk untuk mendaftar PBUD lah, ada yang sibuk mendaftar STAN lah bahkan STPDN yang waktu itu menjadi idaman setiap orang. Menjadi abdi negara yang jelas-jelas menjadi pegawai negeri, dari Camat bahkan Bupati. Sementara yang lain sibuk bimbingan di Gama Exacta, PrimaGama, Ganesha Exact Bandung dan berbagai macam bimbingan belajar untuk persiapan UMPTN. Aku hanya realistis dengan rencanaku, mulai memikirkan untuk cari kerja meskipun belum tahu pekerjaan apa waktu itu yang bisa aku jalani. Aku tidak bergabung dengan bimbel ketika EBTANAS usai, aku masih sok sibuk dengan sahabat karibku Nanang yang sekarang jadi dosen di FISIPOL UGM. Kita berdua sok sibuk membawa-bawa tas seakan-akan kita ikut bimbingan belajar meskipun kita hanya berakhir di pojokan alun-alun depan pendopo kabupaten. Itulah aku, orang tanpa cita-cita yang muluk bahkan jadi Peneliti pun tidak pernah terlintas di benakku waktu itu. Terpaksa kuliah Mungkin keterpaksaan yang membawaku harus mendaftar UMPTN, waktu itu hanya untuk membuat bapak dan ibuku lega, setidaknya anaknya pernah ikut UMPTN meskipun itu bukan jalan yang dipilih. Akhirnya aku membeli formulir UMPTN dan aku memilih IPC supaya aku bisa memilih eksak dan sosial. Aku ingat betul, aku memilih Biologi karena hanya berdasar tingkat kompetisi yang relatif mudah dengan perbanding 1 banding 10 seingatku. Aku tidak pernah terpikir untuk kuliah di teknik seperti teman-teman lain, kembali karena aku realistis dengan kemampuanku. Aku putuskan ambil Biologi UGM sebagai pilihan pertama, kemudian pilihan kedua jatuh di Agrobisni/Sosial Ekonomi Pertanian UNS sedangkan pilihan ketiga aku memilih Ilmu Komunikasi UNS karena simpel ingin jadi penyiar radio saja. Karena saking sering bergaulnya di Amatron 3 sehingga menjadi penyiar radio suatu alternatif. Tanpa beban aku menjalani tes UMPTN di UGM, aku ingat betul kami berempat menginap di Klitren Lor tempat saudara Nanang. Kita lebih banyak main dingdong di mall yang ada waktu itu, aku lupa namanya. Praktis menjelang ujian tidak pernah belajar boro-boro tahu jurus jitu mengerjakan soa-soal matematika yang diajarkan di Bimbel. Karena aku tidak pernah mengenyam bangku BIMBEL. Tanpa beban harus lulus ujian, aku mengerjakan soal dengan cepat meskipun tidak pernah yakin bisa lulus. Dalam benak saat itu, yang penting adalah menjalaninya semaksimal mungkin. Akhirnya disaat pengumuman, biasanya UGM dengan pemberitahuna lewat surat sehari sebelum pengumuman lewat media koran. Aku ingat betul waktu itu hari Jumat, dengan cemas menunggu meskipun tidak mempunyai banyak harapan untuk diterima. Alhamdullillah, surat yang ditunggu pun datang ke rumah setelah sholat jumat. Akhirnya, aku berhasil masuk menjadi mahasiswa di UGM. Setelah masuk pun tidak pernah mempunyai cita-cita muluk mau jadi peneliti. Namun ketika aku banyak bergaul dengan dunia pecinta alam, banyak menghabiskan waktu di Matalabiogama, dan sekali lagi tidak pernah ribut dengan masa depan. Menjalani hidup mengalir mengikuti jalannya tanpa harus repot mengkontruksi rencana masa depan. Sampai akhirnya, aku lulus dan mendapat jalan bergabung untuk bekerjad di LIPI meskipun sekali lagi, tidak pernah muluk-muluk ingin jadi peneliti. Awal bergabung di LIPI, aku hanya sebagai tenaga honorer dimana aku bernaung di proyek tentang karst. Proyek selama dua tahun telah cukup memberi gambaran bagaimana kerja seorang peneliti. Ketika ada lowong di Puslit Biologi, aku mencoba melamar namun sayangnya kualifikasiku tidak mememenuhi persyaratan karena yang dicari Sarjana MIPA jurusan Biologi. Sementara, aku sarjana biologi lulusan Fakultas Biologi. Entahlah, sampai sekarang aku tidak mengerti apa alasannya yang jelas saat itu rejeki belum menjadi miliki. Namun aku sudah cukup puas, karena meskipun aku masih honorer aku sudah berkesempatan ke Thailand dan Malaysia, pengalaman yang tidak pernah sekali lagi dibayangkan. Ingin menjadi guru Setelah menjadi bagian di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai Peneliti, aku banyak mempunyai kesempatan bergaul dengan orang asing. Bahasa Inggris yang tidak pernah diperoleh di bangku kursus ini cukup membuat aku untuk percaya diri berkomunikasi meskipun masih belepotan dengan salah-salah tata bahasa. Namun itulah jalan untuk belajar. Ketika aku mencapai tingkat dimana aku sudah cukup banyak pengalaman ke luar negeri membuat mata ini terbuka betapa banyak hal yang mesti dilakukan untuk bangsa ini. Salah satu yang ada di benakku adalah menjadi guru, sementara aku sendiri saat ini menjadi Peneliti Muda di LIPI, jenjang fungsional yang cukup lah untuk seorang aku yang pas-pasan ini. Aku berpikir, mungkin kah ada kesempatan aku untuk mengajar, dimana saja dimana aku bisa berbagi pengalaman. Niatan ini kembali menguat ketika aku menonton film “KNOWING”, waktu itu seorang ayah yang diperankan Nicholas Cage, menjadi dosen Astronomi mengajar di kelasnya. Melihat gaya mengajarnya membuat aku ingin mencoba gaya tersebut suatu saat kalau aku berkesempatan mengajar. Selain itu, begitu banyak hal ketika aku harus bersosialisasi dengan orang-orang di beberapa lembaga penelitian maupun universitas, berbagai pengalaman aku dapatkan. Salah satu pelajaran yang aku peroleh dan selama ini tidak pernah aku rasakan adalah “encouragement”. “Encouragement”= mBombong Hati mMbombong Hati atau dalam bahasa inggris “encouragement” mungkin satu hal yang sangat jarang aku temui. Namun, selama aku mahasiswa dosen pembimbing ku lah yang selalu mbombong, atau membesarkan hati ku meskipun terkadang kata-kata beliau begitu pedas jika harus dimasukkan ke dalam hati. Encouragement inilah yang salah satunya membuat aku ingin menjadi guru, mengajarkan biologi dengan mengasyikan dan menjadi mata kuliah atau mata pelajaran yang favorit bagi mahasiswa atau siswa–siswa SMA. Sekaligus menjadi guru yang inspiratif bagi murid-muridnya. Menjadi guru yang selalu memberikan apresiasi sekecil apapun bagi muridnya, memberikan kata-kata ajaib sejelek apapun hasil tugas maupun ujian murid-murid. Menjadi guru yang selalu melontarkan magic words seperti *well done*, *good effort*, you have tried the best… dan lain-lain. kata-kata yang bukan sekedar basa basi tapi mampu memberikan semangat. Bukan memberikan hukuman atau nilai dengan tinta merah dengan huruf besar yang semakin mengecilkan arti sebuah usaha. Entahlah, apakah ada kesempatan buatku untuk berbagi pengalaman dan mengajarkan betapa pentingnya biologi bagi kehidupan. Terlepas dari itu, aku hanya berusaha menjadi guru inspiratif bagi anak-anaku, menjadi guru yang selalu mememberiakn apresiasi sekecil apapun itu. Semoga bisa meneruskan menjadi guru seperti Eyang kakung dan Eyang Putri-nya anak-anakku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar