Senin, 27 Februari 2012

Yang Pertama

Yang Pertama Apa itu cinta? Cinta itu adalah rute trem bawah tanah London Mereka bilang cinta itu indah…? Cinta yang indah hanyalah kecintaan kita kepada keharmonisan Tetapi bukankah cinta juga menyakitkan? Cinta menyakitkan bagi mereka yang tidak bisa menjaga keseimbangan Apa kau percaya pada kesempurnaan dan kemurnian cinta? Even in the greatest masterpiece we can still find its defect, Apa kau pernah jatuh cinta? Itu retoris Apa hal yang paling membahagiakan dari cinta? Saat kau mengetahui bahwa cintamu berada dalam keharmonisan Apa hal yang paling menyedihkan dari cinta? Hmm…ketika kau mengetahui bahwa orang yang kau cintai berada di tepian sementara kau tidak bisa apa2 untuk membawanya kembali ke keseimbangan… Lantas siapa kau sebenarnya? Aku hanyalah seorang pujangga muda yang baru saja mulai mencari makna sederhana dari rumitnya cinta.

Soal Remidial Kelas XI IPA

Senin, 09 Januari 2012

Membangun Citra Guru

CITRA guru bukanlah sosok berdasi, intelektual ulung dalam menyiapkan masa depan, tetapi pekerja suara yang berangkat pagi pulang siang (bahkan sore hari), tetapi kering finansial. Praktis, citra guru tereduksir sedemikian rupa di balik keagungan harapan yang meluap. Permasalahannya: bagaimana membangun citra guru agar peran dan profesionalitasnya terpenuhi? Pertama, penting tercipta kultur masyarakat pembelajar sehingga bukan tangan gurulah satu-satunya penentu kualitas mutu pendidikan. Artinya, tidak saja para guru yang memiliki sense of learning, tetapi juga masyarakat dan birokrasi pendidikan. Kultur demikian akan menjadi pigura awal terfasilitasnya kesadaran belajar masyarakat. Logika proyek birokrat pendidikan penting ditinggalkan di satu sisi, dan bagaimana masa bodoh masyarakat terhadap pendidikan juga penting untuk diubah pada sisi yang lain. Tanpa terciptanya kultur demikian, sulit memberikan penghargaan yang layak pada para guru. Sebab, sebagaimana selama ini terjadi, tugas berat guru sepertinya bertarung dengan “penonton” pendidikan yang hanya bisa alok, mengkritik. Hal ini semakin berbahaya ketika tidak ada kesadaran bersama bahwa pendidikan bukanlah sekadar dijemari lemah guru. Jika kesadaran pembelajar masyarakat sudah terbangun, dengan sendirinya kepedulian pemerintah dan masyarakat pada guru diharapkan juga berubah. Hal ini tidak berlebihan, sebab bagaimanapun pendidikan diyakini mampu mendorong daya saing kualitas SDM bangsa ini. Tanpa kepedulian pemerintah menghargai secara layak, besar kemungkinan sikap tak acuh para guru semakin subur bertumbuhan. Kedua, adanya perlindungan hukum atas profesi guru. Rancangan Undang-Undang tentang Guru yang telah diusulkan merupakan payung penting dalam pengemban amanat pendidikan. Problem guru di wilayah konflik misalnya, yang mempertaruhkan nyawa, adalah masalah krusial yang harus dipecahkan. Belum lagi dalam tahun-tahun terakhir ketika masyarakat semakin kritis penanganan terhadap anak, tak tertutup kemungkinan terjadi kelalaian guru. Bagaimanapun, barangkali wilayah guru penting dibedakan dengan wilayah kriminal. Dengan begitu, kelalaian guru “menghukum” murid misalnya, tidak serta-merta harus berurusan dengan polisi. Seorang teman di sekolah saya, beberapa minggu lalu terpaksa mengalami kasus ini karena menghukum relatif berlebihan sehingga dinilai sebagai penganiayaan. BAGAIMANAPUN, penting disadari bahwa wilayah edukatif perlu dikedepankan sehingga citra guru terkawal tidak seperti preman di jalanan. Profesionalisme guru di sekolah memang dipertaruhkan, tetapi jika anak memang berlebihan, tentunya hukuman (meski tidak relevan) tetap menarik untuk dipikirkan. Ketiga, penting digulirkan kebijakan peran dan fungsi guru sebagaimana profesi lain, semisal dokter dan hakim. Hal inilah yang penting dipikirkan oleh Dirjen Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan. Lembaga ini tentu yang berkonsentrasi untuk melakukan standardisasi mutu pendidikan. Bukan sebaliknya, justru akan menambah draf panjang problem struktural pendidikan kita. Jika selama ini masalah mutu pendidikan selalu dicakapkan, tetapi bagaimana indikatornya masih menjadi bahan perdebatan panjang. Di samping itu, kita pun masih dihadapkan pada problem operasional dengan ujung tombak para guru. Isu tentang rendahnya kreativitas guru, misalnya, bukan hal aib untuk diakui. Guru-guru kita rata-rata adalah “pekerja” bukanlah profesi. TERKAIT ancangan menjadikan guru sebagai profesi, maka penting dipikirkan beberapa parameter macam: loyalitas profesi, dedikasi, pelayanan terhadap klien, panggilan hidup, kode etik, kualifikasi (standardisasi/sertifikasi), kompetensi (keahlian), tanggung jawab, maupun penghargaan yang memadai. Tanpa parameter demikian, sulit kiranya menggagas kerja guru sebagai profesi. Sebuah profesi, tentunya, bukan kerja asal-asalan; sebaliknya, jika terjadi “malapraktik pendidikan” guru pun dapat dituntut balik atas kelalaian profesinya. Mungkinkah hal demikian terwujud? Keempat, tersedianya sarana-prasarana memadai. Kelanjutan dari alternatif ketiga, maka kecukupan sarana-prasarana menjadi faktor yang tak kalah penting untuk membangun citra guru di masa mendatang. Analog dengan kecanggihan alat, maka hal demikian akan menjadi harapan lain untuk mendongkrak citra guru. Akhirnya, adakah keseriusan dalam membangun citra guru di masa mendatang? Jika citra guru terbangun, maka input para guru pun akan menjadi nominasi awal masyarakat kita. Bukan seperti sekarang di mana pilihan guru sebagai alternatif terakhir setelah semua pilihan lain yang mengalirkan harapan. Sutedjo Guru Lembaga Pendidikan Ma’arif Ponorogo