Senin, 27 Februari 2012

Yang Pertama

Yang Pertama Apa itu cinta? Cinta itu adalah rute trem bawah tanah London Mereka bilang cinta itu indah…? Cinta yang indah hanyalah kecintaan kita kepada keharmonisan Tetapi bukankah cinta juga menyakitkan? Cinta menyakitkan bagi mereka yang tidak bisa menjaga keseimbangan Apa kau percaya pada kesempurnaan dan kemurnian cinta? Even in the greatest masterpiece we can still find its defect, Apa kau pernah jatuh cinta? Itu retoris Apa hal yang paling membahagiakan dari cinta? Saat kau mengetahui bahwa cintamu berada dalam keharmonisan Apa hal yang paling menyedihkan dari cinta? Hmm…ketika kau mengetahui bahwa orang yang kau cintai berada di tepian sementara kau tidak bisa apa2 untuk membawanya kembali ke keseimbangan… Lantas siapa kau sebenarnya? Aku hanyalah seorang pujangga muda yang baru saja mulai mencari makna sederhana dari rumitnya cinta.

Soal Remidial Kelas XI IPA

Senin, 09 Januari 2012

Membangun Citra Guru

CITRA guru bukanlah sosok berdasi, intelektual ulung dalam menyiapkan masa depan, tetapi pekerja suara yang berangkat pagi pulang siang (bahkan sore hari), tetapi kering finansial. Praktis, citra guru tereduksir sedemikian rupa di balik keagungan harapan yang meluap. Permasalahannya: bagaimana membangun citra guru agar peran dan profesionalitasnya terpenuhi? Pertama, penting tercipta kultur masyarakat pembelajar sehingga bukan tangan gurulah satu-satunya penentu kualitas mutu pendidikan. Artinya, tidak saja para guru yang memiliki sense of learning, tetapi juga masyarakat dan birokrasi pendidikan. Kultur demikian akan menjadi pigura awal terfasilitasnya kesadaran belajar masyarakat. Logika proyek birokrat pendidikan penting ditinggalkan di satu sisi, dan bagaimana masa bodoh masyarakat terhadap pendidikan juga penting untuk diubah pada sisi yang lain. Tanpa terciptanya kultur demikian, sulit memberikan penghargaan yang layak pada para guru. Sebab, sebagaimana selama ini terjadi, tugas berat guru sepertinya bertarung dengan “penonton” pendidikan yang hanya bisa alok, mengkritik. Hal ini semakin berbahaya ketika tidak ada kesadaran bersama bahwa pendidikan bukanlah sekadar dijemari lemah guru. Jika kesadaran pembelajar masyarakat sudah terbangun, dengan sendirinya kepedulian pemerintah dan masyarakat pada guru diharapkan juga berubah. Hal ini tidak berlebihan, sebab bagaimanapun pendidikan diyakini mampu mendorong daya saing kualitas SDM bangsa ini. Tanpa kepedulian pemerintah menghargai secara layak, besar kemungkinan sikap tak acuh para guru semakin subur bertumbuhan. Kedua, adanya perlindungan hukum atas profesi guru. Rancangan Undang-Undang tentang Guru yang telah diusulkan merupakan payung penting dalam pengemban amanat pendidikan. Problem guru di wilayah konflik misalnya, yang mempertaruhkan nyawa, adalah masalah krusial yang harus dipecahkan. Belum lagi dalam tahun-tahun terakhir ketika masyarakat semakin kritis penanganan terhadap anak, tak tertutup kemungkinan terjadi kelalaian guru. Bagaimanapun, barangkali wilayah guru penting dibedakan dengan wilayah kriminal. Dengan begitu, kelalaian guru “menghukum” murid misalnya, tidak serta-merta harus berurusan dengan polisi. Seorang teman di sekolah saya, beberapa minggu lalu terpaksa mengalami kasus ini karena menghukum relatif berlebihan sehingga dinilai sebagai penganiayaan. BAGAIMANAPUN, penting disadari bahwa wilayah edukatif perlu dikedepankan sehingga citra guru terkawal tidak seperti preman di jalanan. Profesionalisme guru di sekolah memang dipertaruhkan, tetapi jika anak memang berlebihan, tentunya hukuman (meski tidak relevan) tetap menarik untuk dipikirkan. Ketiga, penting digulirkan kebijakan peran dan fungsi guru sebagaimana profesi lain, semisal dokter dan hakim. Hal inilah yang penting dipikirkan oleh Dirjen Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan. Lembaga ini tentu yang berkonsentrasi untuk melakukan standardisasi mutu pendidikan. Bukan sebaliknya, justru akan menambah draf panjang problem struktural pendidikan kita. Jika selama ini masalah mutu pendidikan selalu dicakapkan, tetapi bagaimana indikatornya masih menjadi bahan perdebatan panjang. Di samping itu, kita pun masih dihadapkan pada problem operasional dengan ujung tombak para guru. Isu tentang rendahnya kreativitas guru, misalnya, bukan hal aib untuk diakui. Guru-guru kita rata-rata adalah “pekerja” bukanlah profesi. TERKAIT ancangan menjadikan guru sebagai profesi, maka penting dipikirkan beberapa parameter macam: loyalitas profesi, dedikasi, pelayanan terhadap klien, panggilan hidup, kode etik, kualifikasi (standardisasi/sertifikasi), kompetensi (keahlian), tanggung jawab, maupun penghargaan yang memadai. Tanpa parameter demikian, sulit kiranya menggagas kerja guru sebagai profesi. Sebuah profesi, tentunya, bukan kerja asal-asalan; sebaliknya, jika terjadi “malapraktik pendidikan” guru pun dapat dituntut balik atas kelalaian profesinya. Mungkinkah hal demikian terwujud? Keempat, tersedianya sarana-prasarana memadai. Kelanjutan dari alternatif ketiga, maka kecukupan sarana-prasarana menjadi faktor yang tak kalah penting untuk membangun citra guru di masa mendatang. Analog dengan kecanggihan alat, maka hal demikian akan menjadi harapan lain untuk mendongkrak citra guru. Akhirnya, adakah keseriusan dalam membangun citra guru di masa mendatang? Jika citra guru terbangun, maka input para guru pun akan menjadi nominasi awal masyarakat kita. Bukan seperti sekarang di mana pilihan guru sebagai alternatif terakhir setelah semua pilihan lain yang mengalirkan harapan. Sutedjo Guru Lembaga Pendidikan Ma’arif Ponorogo

Rabu, 28 Desember 2011

Ketika Aku Ingin Menjadi Guru

http://biotagua.org setiap anak ditanya satu persatu apa cita-cita ketika besar nanti. Waktu itu yang jelas terbersit adalah Guru, karena waktu itu tidak pernah terbersit bahkan tidak pernah tahu kalau ada yang namanya profesi Peneliti apalagi Taksonom. Profesi Guru merupakan satu profesi yang paling pertama dikenal oleh kita, karena ketika pertama kali sekolah kita langsung dihadapkan dengan seorang Guru. Namun berbeda dengan aku, sebelum sekolah aku sudah mengenal apa dan siapa itu guru. Bapakku seorang guru SMP yang mengajar mata pelajaran IPS salah satunya Geografi. Setiap senin pagi, pagi-pagi benar bapak sudah berangkat menuju terminal bus Purworejo, yang waktu itu masih bertempat di Purworejo Plaza, meksipun plasanya sampai sekarang tidak jelas bentuknya. Setiap senin pagi itulah, bapaku selalu menunggu bus entah Santoso atau Kencana Jaya yang akan membawa beliau ke Magelang. Karena bapakku mengajar di desa kecil yang disebut dengan Candimulyo yang harus ditempuh dengan lebih dari dua kali naik angkuan. Dari bis, berganti dengan angkutan desa turun di Jembatan Elo dan disambung dengan angkutan desa bentuk engkel menuju desa. Sebuah perjuangan yang tidak pernah terpikirkan oleh ku waktu itu, perjuangan yang penuh dedikasi tanpa lelah setiap senin dan jumat harus berakrab ria dengan “Santoso”, “Kencana Jaya” atau akhir-akhir menjelang karir beliau *Dwi Marta*. Karir dimana beliau harus berhenti mengajar karena terserang sakit ketika waktu aku kuliah. Sampai sekarang aku tidak pernah mengerti apa sakitnya bapak waktu itu. Waktu beliau menghembuskan nafas terakhirnya pun aku tidak sempat menunggu karena waktu itu aku sedang ujian semester yang harus aku tinggalkan di tengah jalan. Itulah bapakku yang aku sendiri tidak cukup mengenal beliau karena baliau harus mengajar di lain kota dan berkumpul di akhir pekan. Lain dengan bapak, ibuku seorang Guru SD, yang setiap hari aku hanya bisa mengharap ibu membawa sesuatu dari pasar entah bengkoang, gethuk, pisang klemas atau rupa-rupa jajanan pasar lain. Ibuku mengajar kelas 1 di SD Brengkelan III meskipun menjelah pensiun sempat berpindah-pindah karena sekolahnya tutup. Itulah potret seorang guru dimataku waktu itu, sebuah profesi yang sederhana namun begitu penting dalam memberikan pondasi bagi generasi muda untuk menapak masa depan. Tanpa cita-cita Ketika SMP sampai SMA mungkin boleh dikata aku tidak mempunyai cita-cita, sekolah mengalir begitu saja tanpa aku harus sibuk menyusun rencana masa depan. Aku begitu realistis waktu itu, bapak yang guru SMP dan Ibu yang Guru SD sudah terlalu berat untuk membiayai kuliah seandainya aku harus memikirkan masuk kuliah. ketika SMA, tidak banyak prestasi di kelas yang aku buat, hanya murid biasa dengan kecerdasan standard sehingga membawaku masuk di kelas Biologi. Bersama teman-teman di kelas biologi naik turunnya prestasi di kelas adalah hal yang lumrah bagiku. Ketika kelas dua, aku benar-benar merasakan hidup seperti di jalanan, rumah hanya tempat singgah dan meletakkan tas. Dengan modal sepeda “nongkrong” adalah kebiasaan yang akrab waktu itu. Setiap hari, jam 10 malam adalah jam tercepat untuk pulang ke rumah. Begitu banyak teman dan aktivitas yang menyita waktu hingga membuat prestasi di kelas turun drastis. Bapakku cuma bisa geleng-geleng melihat hasil raport yang terjun bebas. namun itulah jalah yang harus ditempuh. Tanpa seperti itu, mungkin hidupku tidak akan menjadi kaya. Menjelang akhir SMA, aku tidak pernah membayangkan bahkan mempersiapkan untuk melanjutkan kuliah. Teman-teman sudah sibuk untuk mendaftar PBUD lah, ada yang sibuk mendaftar STAN lah bahkan STPDN yang waktu itu menjadi idaman setiap orang. Menjadi abdi negara yang jelas-jelas menjadi pegawai negeri, dari Camat bahkan Bupati. Sementara yang lain sibuk bimbingan di Gama Exacta, PrimaGama, Ganesha Exact Bandung dan berbagai macam bimbingan belajar untuk persiapan UMPTN. Aku hanya realistis dengan rencanaku, mulai memikirkan untuk cari kerja meskipun belum tahu pekerjaan apa waktu itu yang bisa aku jalani. Aku tidak bergabung dengan bimbel ketika EBTANAS usai, aku masih sok sibuk dengan sahabat karibku Nanang yang sekarang jadi dosen di FISIPOL UGM. Kita berdua sok sibuk membawa-bawa tas seakan-akan kita ikut bimbingan belajar meskipun kita hanya berakhir di pojokan alun-alun depan pendopo kabupaten. Itulah aku, orang tanpa cita-cita yang muluk bahkan jadi Peneliti pun tidak pernah terlintas di benakku waktu itu. Terpaksa kuliah Mungkin keterpaksaan yang membawaku harus mendaftar UMPTN, waktu itu hanya untuk membuat bapak dan ibuku lega, setidaknya anaknya pernah ikut UMPTN meskipun itu bukan jalan yang dipilih. Akhirnya aku membeli formulir UMPTN dan aku memilih IPC supaya aku bisa memilih eksak dan sosial. Aku ingat betul, aku memilih Biologi karena hanya berdasar tingkat kompetisi yang relatif mudah dengan perbanding 1 banding 10 seingatku. Aku tidak pernah terpikir untuk kuliah di teknik seperti teman-teman lain, kembali karena aku realistis dengan kemampuanku. Aku putuskan ambil Biologi UGM sebagai pilihan pertama, kemudian pilihan kedua jatuh di Agrobisni/Sosial Ekonomi Pertanian UNS sedangkan pilihan ketiga aku memilih Ilmu Komunikasi UNS karena simpel ingin jadi penyiar radio saja. Karena saking sering bergaulnya di Amatron 3 sehingga menjadi penyiar radio suatu alternatif. Tanpa beban aku menjalani tes UMPTN di UGM, aku ingat betul kami berempat menginap di Klitren Lor tempat saudara Nanang. Kita lebih banyak main dingdong di mall yang ada waktu itu, aku lupa namanya. Praktis menjelang ujian tidak pernah belajar boro-boro tahu jurus jitu mengerjakan soa-soal matematika yang diajarkan di Bimbel. Karena aku tidak pernah mengenyam bangku BIMBEL. Tanpa beban harus lulus ujian, aku mengerjakan soal dengan cepat meskipun tidak pernah yakin bisa lulus. Dalam benak saat itu, yang penting adalah menjalaninya semaksimal mungkin. Akhirnya disaat pengumuman, biasanya UGM dengan pemberitahuna lewat surat sehari sebelum pengumuman lewat media koran. Aku ingat betul waktu itu hari Jumat, dengan cemas menunggu meskipun tidak mempunyai banyak harapan untuk diterima. Alhamdullillah, surat yang ditunggu pun datang ke rumah setelah sholat jumat. Akhirnya, aku berhasil masuk menjadi mahasiswa di UGM. Setelah masuk pun tidak pernah mempunyai cita-cita muluk mau jadi peneliti. Namun ketika aku banyak bergaul dengan dunia pecinta alam, banyak menghabiskan waktu di Matalabiogama, dan sekali lagi tidak pernah ribut dengan masa depan. Menjalani hidup mengalir mengikuti jalannya tanpa harus repot mengkontruksi rencana masa depan. Sampai akhirnya, aku lulus dan mendapat jalan bergabung untuk bekerjad di LIPI meskipun sekali lagi, tidak pernah muluk-muluk ingin jadi peneliti. Awal bergabung di LIPI, aku hanya sebagai tenaga honorer dimana aku bernaung di proyek tentang karst. Proyek selama dua tahun telah cukup memberi gambaran bagaimana kerja seorang peneliti. Ketika ada lowong di Puslit Biologi, aku mencoba melamar namun sayangnya kualifikasiku tidak mememenuhi persyaratan karena yang dicari Sarjana MIPA jurusan Biologi. Sementara, aku sarjana biologi lulusan Fakultas Biologi. Entahlah, sampai sekarang aku tidak mengerti apa alasannya yang jelas saat itu rejeki belum menjadi miliki. Namun aku sudah cukup puas, karena meskipun aku masih honorer aku sudah berkesempatan ke Thailand dan Malaysia, pengalaman yang tidak pernah sekali lagi dibayangkan. Ingin menjadi guru Setelah menjadi bagian di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai Peneliti, aku banyak mempunyai kesempatan bergaul dengan orang asing. Bahasa Inggris yang tidak pernah diperoleh di bangku kursus ini cukup membuat aku untuk percaya diri berkomunikasi meskipun masih belepotan dengan salah-salah tata bahasa. Namun itulah jalan untuk belajar. Ketika aku mencapai tingkat dimana aku sudah cukup banyak pengalaman ke luar negeri membuat mata ini terbuka betapa banyak hal yang mesti dilakukan untuk bangsa ini. Salah satu yang ada di benakku adalah menjadi guru, sementara aku sendiri saat ini menjadi Peneliti Muda di LIPI, jenjang fungsional yang cukup lah untuk seorang aku yang pas-pasan ini. Aku berpikir, mungkin kah ada kesempatan aku untuk mengajar, dimana saja dimana aku bisa berbagi pengalaman. Niatan ini kembali menguat ketika aku menonton film “KNOWING”, waktu itu seorang ayah yang diperankan Nicholas Cage, menjadi dosen Astronomi mengajar di kelasnya. Melihat gaya mengajarnya membuat aku ingin mencoba gaya tersebut suatu saat kalau aku berkesempatan mengajar. Selain itu, begitu banyak hal ketika aku harus bersosialisasi dengan orang-orang di beberapa lembaga penelitian maupun universitas, berbagai pengalaman aku dapatkan. Salah satu pelajaran yang aku peroleh dan selama ini tidak pernah aku rasakan adalah “encouragement”. “Encouragement”= mBombong Hati mMbombong Hati atau dalam bahasa inggris “encouragement” mungkin satu hal yang sangat jarang aku temui. Namun, selama aku mahasiswa dosen pembimbing ku lah yang selalu mbombong, atau membesarkan hati ku meskipun terkadang kata-kata beliau begitu pedas jika harus dimasukkan ke dalam hati. Encouragement inilah yang salah satunya membuat aku ingin menjadi guru, mengajarkan biologi dengan mengasyikan dan menjadi mata kuliah atau mata pelajaran yang favorit bagi mahasiswa atau siswa–siswa SMA. Sekaligus menjadi guru yang inspiratif bagi murid-muridnya. Menjadi guru yang selalu memberikan apresiasi sekecil apapun bagi muridnya, memberikan kata-kata ajaib sejelek apapun hasil tugas maupun ujian murid-murid. Menjadi guru yang selalu melontarkan magic words seperti *well done*, *good effort*, you have tried the best… dan lain-lain. kata-kata yang bukan sekedar basa basi tapi mampu memberikan semangat. Bukan memberikan hukuman atau nilai dengan tinta merah dengan huruf besar yang semakin mengecilkan arti sebuah usaha. Entahlah, apakah ada kesempatan buatku untuk berbagi pengalaman dan mengajarkan betapa pentingnya biologi bagi kehidupan. Terlepas dari itu, aku hanya berusaha menjadi guru inspiratif bagi anak-anaku, menjadi guru yang selalu mememberiakn apresiasi sekecil apapun itu. Semoga bisa meneruskan menjadi guru seperti Eyang kakung dan Eyang Putri-nya anak-anakku.

Pembelajaran Remedial

Pembelajaran Remedial dalam KTSPDalam rangka membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan, pelaksanaan atau proses pembelajaran perlu diusahakan agar interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mencapai tujuan dan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut pasti dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan atau masalah belajar. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, setiap satuan pendidikan perlu menyelenggarakan program pembelajaran remedial atau perbaikan. A. Hakikat Pembelajaran Remedial Pembelajaran remedial merupakan layanan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki prestasi belajarnya sehingga mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan. Untuk memahami konsep penyelenggaraan model pembelajaran remedial, terlebih dahulu perlu diperhatikan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas 22, 23, 24 Tahun 2006 dan Permendiknas No. 6 Tahun 2007 menerapkan sistem pembelajaran berbasis kompetensi, sistem belajar tuntas, dan sistem pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual peserta didik. Sistem dimaksud ditandai dengan dirumuskannya secara jelas standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Penguasaan SK dan KD setiap peserta didik diukur menggunakan sistem penilaian acuan kriteria. Jika seorang peserta didik mencapai standar tertentu maka peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan. Pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran tuntas, dimulai dari penilaian kemampuan awal peserta didik terhadap kompetensi atau materi yang akan dipelajari. Kemudian dilaksanakan pembelajaran menggunakan berbagai metode seperti ceramah, demonstrasi, pembelajaran kolaboratif/kooperatif, inkuiri, diskoveri, dsb. Melengkapi metode pembelajaran digunakan juga berbagai media seperti media audio, video, dan audiovisual dalam berbagai format, mulai dari kaset audio, slide, video, komputer, multimedia, dsb. Di tengah pelaksanaan pembelajaran atau pada saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung, diadakan penilaian proses menggunakan berbagai teknik dan instrumen dengan tujuan untuk mengetahui kemajuan belajar serta seberapa jauh penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah atau sedang dipelajari. Pada akhir program pembelajaran, diadakan penilaian yang lebih formal berupa ulangan harian. Ulangan harian dimaksudkan untuk menentukan tingkat pencapaian belajar peserta didik, apakah seorang peserta didik gagal atau berhasil mencapai tingkat penguasaan tertentu yang telah dirumuskan pada saat pembelajaran direncanakan. Apabila dijumpai adanya peserta didik yang tidak mencapai penguasaan kompetensi yang telah ditentukan, maka muncul permasalahan mengenai apa yang harus dilakukan oleh pendidik. Salah satu tindakan yang diperlukan adalah pemberian program pembelajaran remedial atau perbaikan. Dengan kata lain, remedial diperlukan bagi peserta didik yang belum mencapai kemampuan minimal yang ditetapkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Pemberian program pembelajaran remedial didasarkan atas latar belakang bahwa pendidik perlu memperhatikan perbedaan individual peserta didik. Dengan diberikannya pembelajaran remedial bagi peserta didik yang belum mencapai tingkat ketuntasan belajar, maka peserta didik ini memerlukan waktu lebih lama daripada mereka yang telah mencapai tingkat penguasaan. Mereka juga perlu menempuh penilaian kembali setelah mendapatkan program pembelajaran remedial. B.Prinsip Pembelajaran Remedial Pembelajaran remedial merupakan pemberian perlakuan khusus terhadap peserta didik yang mengalami hambatan dalam kegiatan belajarnya. Hambatan yang terjadi dapat berupa kurangnya pengetahuan dan keterampilan prasyarat atau lambat dalam mecapai kompetensi. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran remedial sesuai dengan sifatnya sebagai pelayanan khusus antara lain: 1. Adaptif Setiap peserta didik memiliki keunikan sendiri-sendiri. Oleh karena itu program pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk belajar sesuai dengan kecepatan, kesempatan, dan gaya belajar masing-masing. Dengan kata lain, pembelajaran remedial harus mengakomodasi perbedaan individual peserta didik. 2. Interaktif Pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk secara intensif berinteraksi dengan pendidik dan sumber belajar yang tersedia. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan belajar peserta didik yang bersifat perbaikan perlu selalu mendapatkan monitoring dan pengawasan agar diketahui kemajuan belajarnya. Jika dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan segera diberikan bantuan. 3. Fleksibilitas dalam Metode Pembelajaran dan Penilaian Sejalan dengan sifat keunikan dan kesulitan belajar peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam pembelajaran remedial perlu digunakan berbagai metode mengajar dan metode penilaian yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. 4. Pemberian Umpan Balik Sesegera Mungkin Umpan balik berupa informasi yang diberikan kepada peserta didik mengenai kemajuan belajarnya perlu diberikan sesegera mungkin. Umpan balik dapat bersifat korektif maupun konfirmatif. Dengan sesegera mungkin memberikan umpan balik dapat dihindari kekeliruan belajar yang berlarut-larut yang dialami peserta didik. 5. Kesinambungan dan Ketersediaan dalam Pemberian Pelayanan Program pembelajaran reguler dengan pembelajaran remedial merupakan satu kesatuan, dengan demikian program pembelajaran reguler dengan remedial harus berkesinambungan dan programnya selalu tersedia agar setiap saat peserta didik dapat mengaksesnya sesuai dengan kesempatan masing-masing. C. Pelaksanaan Pembelajaran Remedial Pembelajaran remedial pada hakikatnya adalah pemberian bantuan bagi peserta didik yang mengalami kesulitan atau kelambatan belajar. Sehubungan dengan itu, langkah-langkah yang perlu dikerjakan dalam pemberian pembelajaran remedial meliputi dua langkah pokok, yaitu pertama mendiagnosis kesulitan belajar, dan kedua memberikan perlakuan (treatment) pembelajaran remedial. 1. Diagnosis Kesulitan Belajar a. Tujuan Diagnosis kesulitan belajar dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesulitan belajar peserta didik. Kesulitan belajar dapat dibedakan menjadi kesulitan ringan, sedang dan berat. * Kesulitan belajar ringan biasanya dijumpai pada peserta didik yang kurang perhatian di saat mengikuti pembelajaran. * Kesulitan belajar sedang dijumpai pada peserta didik yang mengalami gangguan belajar yang berasal dari luar diri peserta didik, misalnya faktor keluarga, lingkungan tempat tinggal, pergaulan, dsb. * Kesulitan belajar berat dijumpai pada peserta didik yang mengalami ketunaan pada diri mereka, misalnya tuna rungu, tuna netra¸tuna daksa, dsb. b. Teknik Teknik yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kesulitan belajar antara lain: tes prasyarat (prasyarat pengetahuan, prasyarat keterampilan), tes diagnostik, wawancara, pengamatan, dsb. * Tes prasyarat adalah tes yang digunakan untuk mengetahui apakah prasyarat yang diperlukan untuk mencapai penguasaan kompetensi tertentu terpenuhi atau belum. Prasyarat ini meliputi prasyarat pengetahuan dan prasyarat keterampilan. * Tes diagnostik digunakan untuk mengetahui kesulitan peserta didik dalam menguasai kompetensi tertentu. Misalnya dalam mempelajari operasi bilangan, apakah peserta didik mengalami kesulitan pada kompetensi penambahan, pengurangan, pembagian, atau perkalian. * Wawancara dilakukan dengan mengadakan interaksi lisan dengan peserta didik untuk menggali lebih dalam mengenai kesulitan belajar yang dijumpai peserta didik. * Pengamatan (observasi) dilakukan dengan jalan melihat secara cermat perilaku belajar peserta didik. Dari pengamatan tersebut diharapkan dapat diketahui jenis maupun penyebab kesulitan belajar peserta didik. 2. Bentuk Pelaksanaan Pembelajaran Remedial Setelah diketahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik, langkah berikutnya adalah memberikan perlakuan berupa pembelajaran remedial. Bentuk-bentuk pelaksanaan pembelajaran remedial antara lain: * Pemberian pembelajaran ulang dengan metode dan media yang berbeda. Pembelajaran ulang dapat disampaikan dengan cara penyederhanaan materi, variasi cara penyajian, penyederhanaan tes/pertanyaan. Pembelajaran ulang dilakukan bilamana sebagian besar atau semua peserta didik belum mencapai ketuntasan belajar atau mengalami kesulitan belajar. Pendidik perlu memberikan penjelasan kembali dengan menggunakan metode dan/atau media yang lebih tepat. * Pemberian bimbingan secara khusus, misalnya bimbingan perorangan. Dalam hal pembelajaran klasikal peserta didik mengalami kesulitan, perlu dipilih alternatif tindak lanjut berupa pemberian bimbingan secara individual. Pemberian bimbingan perorangan merupakan implikasi peran pendidik sebagai tutor. Sistem tutorial dilaksanakan bilamana terdapat satu atau beberapa peserta didik yang belum berhasil mencapai ketuntasan. * Pemberian tugas-tugas latihan secara khusus. Dalam rangka menerapkan prinsip pengulangan, tugas-tugas latihan perlu diperbanyak agar peserta didik tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan tes akhir. Peserta didik perlu diberi latihan intensif (drill) untuk membantu menguasai kompetensi yang ditetapkan. * Pemanfaatan tutor sebaya. Tutor sebaya adalah teman sekelas yang memiliki kecepatan belajar lebih. Mereka perlu dimanfaatkan untuk memberikan tutorial kepada rekannya yang mengalami kelambatan belajar. Dengan teman sebaya diharapkan peserta didik yang mengalami kesulitan belajar akan lebih terbuka dan akrab. 3. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran Remedial Terdapat beberapa alternatif berkenaan dengan waktu atau kapan pembelajaran remedial dilaksanakan. Pertanyaan yang timbul, apakah pembelajaran remedial diberikan pada setiap akhir ulangan harian, mingguan, akhir bulan, tengah semester, atau akhir semester. Ataukah pembelajaran remedial itu diberikan setelah peserta didik mempelajari SK atau KD tertentu? Pembelajaran remedial dapat diberikan setelah peserta didik mempelajari KD tertentu. Namun karena dalam setiap SK terdapat beberapa KD, maka terlalu sulit bagi pendidik untuk melaksanakan pembelajaran remedial setiap selesai mempelajari KD tertentu. Mengingat indikator keberhasilan belajar peserta didik adalah tingkat ketuntasan dalam mencapai SK yang terdiri dari beberapa KD, maka pembelajaran remedial dapat juga diberikan setelah peserta didik menempuh tes SK yang terdiri dari beberapa KD. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa SK merupakan satu kebulatan kemampuan yang terdiri dari beberapa KD. Mereka yang belum mencapai penguasaan SK tertentu perlu mengikuti program pembelajaran remedial. Hasil belajar yang menunjukkan tingkat pencapaian kompetensi melalui penilaian diperoleh dari penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses diperoleh melalui postes, tes kinerja, observasi dan lain-lain. Sedangkan penilaian hasil diperoleh melalui ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester. ================== Adaptasi dan disarikan dari : Depdiknas. 2008. Sistem Penilaian KTSP: Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Remedial

Menyoal Sertifikasi Guru

Oleh : Rinto Tampubolon. Guru-guru di Indonesia sangat luar biasa. Hampir tak tertandingi dedikasinya dalam proses memanusiakan manusia ini. Saat begitu banyak sekolah yang tidak layak untuk dipakai untuk belajar, ia tetap semangat menularkan ilmu pengetahuan kepada generasi muda bangsa ini. Tak jarang, guru-guru kita yang bertugas di pedalaman, harus menempuh medan yang sangat sulit. Sudah menempuh jalan panjang dengan berjalan kaki, mau tak mau harus menaiki sampan atau bahkan rakit untuk mencapai sekolah yang fasilitasnya sangat tidak pantas untuk dijadikan tempat belajar. Tak hanya itu, ada banyak pula sekolah-sekolah yang letaknya di perbukitan yang tinggi. Jadi, guru-guru jua harus mendaki bukit-bukit tersebut dan menunaikan tugas mulianya. Tentu saya tidak sedang mengarang sebuah dongeng baru tentang kondisi guru di era globalisasi ini. Kondisi yang saya gambarkan di atas masih bisa kita temui sampai kini. Lantas, dengan gagahnya pemerintah (dalam hal ini Kemendiknas) mengeluarkan maklumat untuk membuat pemerataan kualifikasi guru dengan sebuah pengakuan yang disebut-sebut sebagai "Sertifikasi" pendidik. Ya, sertifikasi guru dimaksudkan untuk menetapkan bahwa mereka yang memperoleh sertifikat adalah guru-guru yang profesional. Hanya, layakkah "selembar kertas" sertifikat ini yang menentukan seorang guru berkualifikasi atau tidak? Atau benarkah semua guru-guru yang tersertifikasi sudah profesional? Lantas, cukupkah sertifikasi guru ini menjawab permasalahan rendahnya mutu pendidikan nasional? Akhirnya, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari ‘mega’ proyek pendidikan ini? Menelisik Guru di Daerah Mari kembali menelisik kondisi para pendidik kita yang mengabdi di daerah-daerah yang jauh dari kota dan juga terpisah dari Ibu Kota negara ini. Tak usah saya bincangkan kondisi pendidikan di Papua sana, karena di Sumatera Utara (Sumut) sendiri masih banyak kondisi guru yang memprihatinkan. Saya langsung memetakan kondisi para guru ini dari pelaksanaan program sertifikasi guru ini melalui jalur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Saya sendiri tinggal dekat dengan Universitas yang bertanggung jawab langsung dalam pelaksanaan PLPG ini. Ada ratusan bahkan ribuan guru di Sumut sejak awal sampai akhir tahun mengikuti PLPG ini. Biasanya mereka tinggal sementara di lingkungan anak kos mahasiswa yang berkuliah di Universitas ini. PLPG merupakan salah satu cara memperoleh sertiffikat (profesional) pendidik ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 11 tahun 2011 pasal 2. PLPG dilaksanakan selama 10 hari per tiap gelombang. Guru-guru yang mengikuti PLPG ini adalah mereka yang tidak memiliki kesiapan diri untuk penilaian portofolio, tidak lulus penilaian portofolio, dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk memperoleh sertifikat pendidik secara langsung (Lihat: Permendiknas Nomor 11 tahun 2011 pasal 7). Dengan kata lain, guru-guru yang mengikuti PLPG ini adalah mereka yang kurang berkualifikasi menjadi seorang pendidik berdasarkan portofolio mereka. Dalam pengamatan saya, para pencerdas anak bangsa ini banyak yang berasal dari pedesaaan, dimana sekolah mereka hanya punya fasilitas seadanya dan tidak seperti sekolah yang ada di kota. Kebanyakan dari mereka bahkan belum melek teknologi (seperti Laptop, infokus, dll.) Salah seorang dari mereka berkisah, "Manalah tau-tau kami memakai laptop-laptop itu, menghidupkan saja tak tau. Cukuplah anak-anak kami yang tahu memakai alat-alat canggih itu." Maklum, kebanyakan mereka yang ikut PLPG ini adalah guru-guru yang sudah tua (bahkan hampir pensiun). Betul saja, tiap kali berangkat ke Kampus –tempat mereka PLPG, mereka hanya menenteng gulungan-gulungan karton putih yang akan dipakai sebagai media pembelajaran. Selain itu, tidak sedikit dari guru-guru ini yang menyewa jasa mahasiswa untuk membantu mereka untuk mengetik tugas-tugas mereka maupun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) mereka. Belum lagi bila harus mencari tugas yang bersumber dari internet, mereka sangat kewalahan. Jadi, guru-guru dengan kualifikasi seperti di atas, setelah melewati masa-masa sulit selama 10 hari –bila memenuhi kriteria –, akan mendapat sertifikat profesional pendidik. Usai menerima sertifikat ini, mereka pun akan disebut sebagai guru yang profesional dan berkompetensi. Benarkah demikian? Tentu saja, sertifikasi guru –khususnya melalui PLPG – ini merupakan sebuah pengakuan semu atas berhasilnya program pemerintah untuk meningkatkan mutu tenaga pendidik. Atau dengan kata lain, pemerintah sedang menyangkal kenyataan bahwa sertifikasi bukanlah jalan yang tepat untuk meningkatkan mutu guru itu sendiri. Jimmy F. Paat, seorang aktivis pendidikan menolak bahwa sertifikasi guru berpengaruh untuk meningkatkan mutu guru. Beliau berkomentar bahwa tidak mungkin guru yang malas membaca dan penakut (namun memperoleh sertifikat ini) disebut dengan guru yang profesional. Siapa yang Diuntungkan? Lantas, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari proyek pemerintah yang memakan banyak biaya ini? Seorang Begawan pendidikan kita, Prof. Dr. Winarno dalam bukunya "Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi" menilai bahwa sertifikasi guru semata-mata hanya menguntungkan para birokrasi pendidikan. "Karena sertifikasi, birokrasi sekarang punya alat untuk mendata ulang guru-guru Indonesia. Karena sertifikasi dikaitkan dengan penggajian dan mungkin juga dengan kepangkatan, guru didorong untuk memiliki sertifikat." Selain itu beliau juga katakan dengan tegas dalam tulisannya, "Kecuali dari sisi kepentingan administrasi kepegawaian, sertifikasi belum dapat dijadikan jaminan akan terjadinya peningkatan kualitas profesional guru," terkait alasan pemerintah yang menghubungkan sertifikasi dengan profesionalitas guru. Namun di sisi lain, guru juga sangat diuntungkan secara material. Mengapa? Karena guru-guru yang sudah bersertifikat akan mendapat tunjangan satu kali gaji pokok sesuai dengan pangkat. Inilah alasan satu-satunya guru (khususnya mereka yang tua dan hampir pensiun sekalipun) rela berletih lelah menjalani PLPG selama 10 hari mulai pukul 08.00-17.00 setiap harinya dengan beban tugas yang tidak sedikit. Sekilas, pemerintah begitu perhatian terhadap nasib guru. Sekilas pemerintah benar-benar berjuang dan berhasil menyejahteraan guru. Tapi seorang teman guru berkomentar soal bertambahnya penghasilan guru setelah sertifikasi. "Bukan berhasil, tapi enggan menyejahterahkan guru bangsa ini. Itu sebabnya dicicil melalui sertifikasi" kritiknya. Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa Inggris Unimed, Aktif di Perkamen Medan. 5